3 Teori Utama Sosiologi Yang Harus Diketahui Setiap Siswa: 1 # Teori Struktural Fungsional,2 # Teori Konflik

Dalam kajian sosiologi, manusia merupakan topik utama yang akan selalu disinggung. Manusia memiliki sifat yang sangat kompleks dan dinamis. Untuk memahami manusia dengan berbagai karakter dan permasalahan tersebut, diperlukan berbagai landasan teori.

Setidaknya ada tiga teori utama sosiologi yang dapat dijadikan sebagai perspektif dalam memandang berbagai kajian sosial. Tiga teori utama sosiologi meliputi teori fungsionalisme struktural, teori konflik, dan teori interaksi simbolik.

Ketiga perspektif ini dianggap cukup berpengaruh dalam berbagai kajian sosiologi dan sering digunakan untuk mengkaji berbagai fenomena sosial. Meskipun dinamika teori sosial terus berkembang sehingga memunculkan perspektif baru tentang sosiologi, namun ketiga perspektif tersebut masih banyak digunakan dan masih dianggap relevan untuk menganalisis fenomena sosial yang terjadi saat ini.

Dalam kajian sains, teori penting untuk analisis dalam melihat sekumpulan fakta dan hubungannya dengan sesuatu yang lain. Teori utama sosiologi juga akan membantu kita lebih memahami fenomena sosial yang terjadi di masyarakat dan kaitannya dengan hal-hal lain.

Baik teori fungsionalisme struktural, teori konflik, maupun teori konflik dan teori interaksi simbolik akan membantu menjelaskan apa, mengapa, dan bagaimana masyarakat bekerja, sehingga kita dapat memperoleh kesimpulan tentang apa yang dapat kita lakukan untuk membuat masyarakat kita menjadi lebih baik.

Dalam konteks sosiologi, perspektif ini digunakan sebagai dasar untuk menilai seperangkat asumsi dan gagasan yang terjadi dalam proses sosial. Cara pandang yang digunakan dalam melihat proses sosial ini tidak melulu benar atau salah. Setiap perspektif hanya melihat dan menganalisis komunitas dengan cara yang berbeda.

Perlu dipahami pula bahwa dalam perspektif sosiologis ini, terdapat dua perspektif luas yang umumnya digunakan untuk mengukur permasalahan sosial yang terjadi, yaitu perspektif mikro dan perspektif makro. Masing-masing melihat perspektif yang berbeda berdasarkan ruang lingkup komunitas yang terlibat di dalamnya, sekaligus menawarkan jawaban yang berbeda terhadap masalah yang diidentifikasi.

Dalam melihat proses sosial ini, perspektif struktural struktural dan perspektif konflik sosial menggunakan perspektif makro tentang masyarakat, sedangkan perspektif interaksionisme simbolik menggunakan perspektif mikro. Bedanya, perspektif makro ini melihat pada lingkup masyarakat yang lebih luas dalam kelompok atau sistem sosial, sedangkan perspektif mikro lebih menekankan pada hubungan antar individu.

Isi ll

1 # Teori Struktural Fungsional

1 #1 Asumsi Dasar Teori struktur fungsional

Asumsi dasar teori struktural fungsional terletak pada konsep tatanan masyarakat. Teori ini memandang bahwa masyarakat itu statis atau sedang mengalami perubahan secara seimbang, dimana setiap unsur masyarakat memiliki peran untuk menjaga stabilitas tersebut.

Sebagaimana perspektif makro, teori ini mengkaji perilaku manusia dalam konteks organisasi (masyarakat) dan bagaimana perilaku tersebut mempengaruhi kondisi keseimbangan organisasi atau masyarakat.

Teori struktural fungsional telah mempengaruhi perkembangan teori sosiologi sampai sekarang. Pusat pertumbuhan teori sosial itu sendiri ada di Amerika Serikat . Negeri ini juga menjadi tempat runtuhnya teori struktural fungsional itu sendiri, yang sempat populer pada 1930-an hingga 1960-an.

Budi Siswanto melalui bukunya “Social ory” menyatakan bahwa akar teori struktural fungsional terletak pada karya Emile Durkheim dan beberapa antropolog generasinya seperti Auguste Comte dan Herbet Spencer. Mereka menawarkan sistem sintesis yang komprehensif dalam sistem pemikiran sosial (Siswanto, 2016:1).

Asumsi utama teori ini adalah asumsi bahwa masyarakat adalah organisme biologis yang terdiri dari organ-organ yang saling bergantung sebagai konsekuensi organisme tersebut dapat bertahan hidup. Melalui pendekatan struktural fungsional ini, sosiolog berharap tercapainya tatanan sosial dalam masyarakat.

1 #2 teori struktur fungsional menurut Emile Durkheim

Emile Durkheim adalah pelopor utama munculnya teori struktural fungsional ini. Namun, akar pemikirannya tentang teori ini dimulai dari Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte. Auguste Comte pertama kali memulai pemikirannya tentang analogi organisme. (Silahkan baca: Perkembangan Sosiologi Zaman Auguste Comte )

Pemikiran Comte ini dikembangkan lebih lanjut oleh Herbert Spencer. Spencer membuat perbandingan untuk menemukan kesamaan antara masyarakat dan organisme. Dari pengamatannya, Spencer mengembangkan gagasan fungsionalisme yang diperlukan, yang kemudian menjadi panduan analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional.

Studi Comte dan Spencer sangat mempengaruhi pemikiran Durkheim sehingga dia bisa menghasilkan terminologi organisme. Menurut Durkheim, masyarakat adalah suatu kesatuan yang berupa sistem yang didalamnya terdapat bagian-bagian yang berbeda.

Keseimbangan sistem dapat tercipta dan terpelihara ketika setiap bagian dari sistem menjalankan fungsinya masing-masing. Setiap bagian saling terhubung dan saling bergantung, sehingga meskipun salah satu bagian tidak berfungsi, akan tercipta kondisi patologis, dimana keseimbangan sistem akan terganggu.

Contoh teori struktural fungsional yang dikembangkan oleh Durkheim dapat dilihat pada kondisi masyarakat cararn dengan segala kebutuhannya dalam berbagai aspek, termasuk aspek teknologi informasi dan komunikasi.

Ketika akses teknologi informasi dan komunikasi terganggu, misalnya karena satelit telekomunikasi terganggu, maka ini akan mempengaruhi bagian lain dari sistem masyarakat cararn ini, hingga seluruh sistem terganggu. Kehidupan ekonomi masyarakat misalnya seperti transaksi ekonomi juga akan terhenti.

Keadaan ini pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya hingga tercipta keadaan normal yang dapat dipertahankan. Keadaan normal ini sering disebut oleh fungsionalis kontemporer sebagai keseimbangan, atau sebagai sistem yang seimbang. Kondisi patologis menunjukkan kondisi ketidakseimbangan atau perubahan sosial.

1 # 3 teori struktural fungsional menurut Talcott Parsons

Selain Durkheim, teori struktural fungsional juga dipengaruhi oleh pemikiran Parsons dan Merton, Malinowski dan Radcliffe Brown, dan Max Weber. Pemikiran Max Weber adalah salah satu dari sekian banyak yang berkontribusi pada teori ini, terutama terkait dengan keberadaan visi substantif tindakan sosial, dan bagaimana strateginya dalam menganalisis struktur sosial.

Talcott Parsons sendiri juga mengambil pemikiran Weber. Adapun Parsons mengembangkan keberadaan empat komponen dasar dalam teori struktural fungsional yang dapat digunakan untuk menjelaskan tindakan aktor dalam menafsirkan keadaan.

Empat komponen penting dalam teori struktural fungsional menurut Parsons adalah: Adaptasi, Goal Attention, Integration, dan Latency (AGIL). Pernyataan berikut:

  • Adaptasi: sistem sosial atau masyarakat selalu berubah sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi, baik secara internal maupun eksternal.
  • Tujuan Perhatian: setiap sistem sosial atau masyarakat akan selalu memiliki berbagai tujuan yang ingin dicapai oleh sistem sosial.
  • Integrasi: setiap bagian dari sistem sosial saling terintegrasi dan cenderung berpegang pada keseimbangan (balance).
  • Latency: sistem sosial selalu berusaha mempertahankan bentuk interaksi yang relatif tetap atau statis, sehingga setiap perilaku menyimpang diakomodasi melalui kesepakatan yang terus diperbarui.

Parsons memang banyak menyumbangkan pemikirannya dalam teori fungsional struktural ini, sehingga dikenal juga sebagai teori fungsionalisme Parsons.

1 # 4 teori struktural fungsional menurut Robert K. Merton

Sebagai pendukung teori struktural fungsional, Robert K Marton hanya mengajukan tuntutan yang lebih terbatas untuk perspektif ini. Merton menganggap bahwa pendekatan struktural fungsional ini memiliki pengaruh besar terhadap kemajuan pengetahuan sosiologis. Meski demikian, ia menilai fungsionalisme struktural tetap tidak akan mampu mengatasi semua masalah sosial (Merton, 1975: 25).

Merton sendiri mengusulkan model analisis fungsional Merton yang diperolehnya sebagai hasil pengembangan pengetahuan teori klasik yang komprehensif, termasuk dari karya Max Weber. Weber sendiri mempengaruhi pemikiran Merton tentang birokrasi, yang membuat Merton lebih terbatas dalam memandang birokrasi, begitu juga dengan Weber.

Adapun organisasi birokrasi cararn, menurut Merton di dalamnya memuat konsep-konsep sebagai berikut:

  • birokrasi adalah suatu bentuk struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal;
  • birokrasi mencakup pola kegiatan dengan batasan yang jelas;
  • kegiatan yang berlangsung dalam sistem idealnya terkait dengan tujuan organisasi;
  • jabatan dalam organisasi terintegrasi dalam keseluruhan struktur birokrasi;
  • Status-status yang ada dalam birokrasi, tersusun secara hierarkis;
  • Kewajiban dan hak dalam birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang rinci;
  • otoritas terletak pada jabatan, bukan pada orang;
  • hubungan yang ada di antara orang-orang secara formal terbatas.

Model birokrasi seperti yang digambarkan oleh Merton dapat digambarkan dalam bentuk organisasi berskala besar. Misalnya seperti perusahaan, universitas atau akademi.

Paradigma analisis fungsional Merton dapat diringkas dalam tiga postulat sebagai analisis fungsional yang kemudian disempurnakan satu demi satu. Ringkasnya, postulat pertama adalah postulat kesatuan fungsional masyarakat yang menunjukkan bahwa kesatuan fungsional masyarakat memiliki bagian-bagian yang saling bekerja sama dalam tingkat konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak terselesaikan (Merton, 1967: 80).

Postulat kedua adalah postulat fungsionalisme universal , dengan asumsi bahwa semua bentuk sosial dan budaya yang telah dibakukan memiliki fungsi positifnya sendiri, yang pada gilirannya dapat membentuk keseimbangan dalam sistem sosial.

Postulat ketiga melengkapi trio postulat fungsionalisme, berupa postulat indispensability , yaitu pada setiap jenis peradaban, setiap kebiasaan, ide, objek material, dan kepercayaan, semuanya memenuhi beberapa fungsi dan tugas penting yang harus dijalankan, sehingga mereka tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem secara keseluruhan (Merton, 1967: 86).

Sederhananya, dalam postulat ketiga ini, semua aspek masyarakat standar tidak hanya memiliki fungsi positif, tetapi juga merupakan bagian-bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan. Postulat ini mengarah pada gagasan bahwa semua struktur dan fungsi fungsional pada dasarnya dibutuhkan oleh masyarakat.

1 # 5 Kritik teori struktural fungsional

Kritik terhadap teori struktural fungsional sering dilontarkan karena teori ini dianggap masih memiliki beberapa kelemahan, seperti:

  • Teori ini mengabaikan konflik yang merupakan keniscayaan dalam masyarakat. Penganut teori ini cenderung menuntut agar masyarakat berada pada tataran yang serasi dan stabil agar dapat berjalan dengan baik. Faktanya, dalam masyarakat seringkali tidak dapat dielakkan bahwa kontradiksi dapat memicu konflik. Konflik ini pada akhirnya dapat menimbulkan guncangan pada sistem.
  • Teori ini terlalu kaku untuk perubahan, terutama yang datang dari luar. Teori ini cenderung berfokus pada sistem dan bagian-bagiannya yang stabil. Padahal, kehidupan masyarakat bersifat dinamis, sehingga seringkali harus menghadapi perubahan, baik ke arah negatif maupun positif.
  • Teori ini melebih-lebihkan harmonisasi dan meremehkan konflik sosial. Penganut teori ini cenderung memaksakan segala aturan dalam masyarakat dan memeliharanya, juga menerima perubahan sebagai hal yang konstan, tanpa memerlukan penjelasan. Perubahan yang dianggap bermanfaat bagi sistem diterima, sedangkan perubahan lainnya ditolak mentah.

2 # Teori Konflik

Teori konflik atau teori konflik struktural diperkenalkan pada tahun 1960-an. Untuk pertama kalinya, teori ini muncul dalam sosiologi AS sebagai kebangkitan dari ide-ide yang diungkapkan sebelumnya oleh Karl Marx dan Max Weber.

Jadi, ide dasar teori konflik diambil dari pemikiran kedua pemikir ini. Marx dan Weber secara tegas menolak gagasan yang menyatakan bahwa masyarakat cenderung mengarah pada konsensus dasar atau harmoni, di mana struktur masyarakat yang bekerja bekerja untuk kebaikan semua orang.

Padahal, konflik dan konflik kepentingan masing-masing individu dan kelompok menurut Marx dan Weber saling bertentangan, dan merupakan penentu utama dalam organisasi kehidupan sosial.

2 #1 Teori Konflik menurut Karl Marx

Karl Marx (1818-1883) dianggap sebagai pelopor utama teori konflik. Bahkan, Riyadi Soeprapto dalam “Symbolic Interactionism” menyebutnya sebagai ahli perspektif konflik.

Dasar pemikiran Marx yang diambil adalah mengenai eksploitasi besar-besaran yang dianggap sebagai motor penggerak utama kekuatan-kekuatan sejarah. Marx memandang perbedaan kelas yang salah satunya disebabkan oleh proyek industrialisasi, dan ini hanya mengejar keuntungan ekonomi semata. (Soeprapto, 2002: 72).

Perjuangan masyarakat kelas merupakan konsepsi fundamental yang kemudian dikonseptualisasikan oleh Karl Marx. Hal ini dipicu oleh kondisi masyarakat saat itu yang dikelilingi oleh industrialisasi abad ke-19. Industrialisasi memunculkan kelas pekerja dan kelas industrialis yang pada akhirnya mendorong keterasingan.

Perspektif konflik yang berakar pada pemikiran Karl Marx diakui oleh para sosiolog sebagai jalan keluar sehingga sangat erat kaitannya dengan revolusi. Meski begitu, konflik di sini tidak dimaksudkan sebagai revolusi radikal apalagi sampai menumpahkan darah. Karena bagaimanapun juga Marx adalah seorang humanis.

Pada hakikatnya, teori konflik melihat perselisihan dan konflik dalam sistem sosial. Jadi, dalam masyarakat tidak akan selalu tertib. Dalam teori ini, otoritas yang berbeda juga dibahas, yang menghasilkan superordinasi dan subordinasi.

Perbedaan kepentingan kedua hal tersebut kemudian menimbulkan konflik. Namun, teori konflik sendiri juga mengungkapkan bahwa konflik dalam proses sosial diperlukan untuk menciptakan perubahan sosial, baik ke arah negatif maupun positif.

Teori konflik yang dikemukakan oleh Karl Marx ini telah lama diabaikan oleh para sosiolog. Namun, baru pada tahun 1960-an teori ini muncul kembali. Beberapa sosiolog yang telah menghidupkan kembali teori konflik, misalnya C. Wright Mills [1956-1959], Lewis Coser: [1956] dan lain-lain [Aron, 1957; Dahrendorf, 1959, 1964; Chambliss, 1973; Collins, 1975].

Tidak seperti fungsionalis yang melihat keadaan normal masyarakat sebagai keseimbangan statis, teori konflik cenderung melihat masyarakat sebagai konflik konstan dalam kelompok dan kelas.

Para ahli teori konflik, bahkan mengklaim bahwa kaum fungsionalis telah gagal mengajukan pertanyaan “berguna secara fungsional”, kepada siapa. Keseimbangan harmonis yang dimaksud dalam fungsionalis dianggap hanya menguntungkan bagi sebagian orang, sedangkan bagi sebagian lainnya justru merugikan.

Para ahli teori konflik memandang bahwa keseimbangan masyarakat yang dimaksudkan oleh kaum fungsionalis hanyalah khayalan belaka, karena mereka tidak mampu menjelaskan bagaimana kelompok dominan mengeksploitasi kelompok lain dan membungkam mereka.

Dalam teori Marx, keberadaan hubungan pribadi dalam produksi dan kelas sosial dipandang sebagai unsur kunci yang ada di banyak masyarakat. Marx juga meyakini bahwa perubahan sosial yang tercipta sangat dipengaruhi oleh konflik yang terjadi antara kelas dominan dan kelas subordinat.

Strategi konflik marsian-cararn, yang disebutkan oleh Stephen K Sanderson (1993:12), adalah sebagai berikut:

  • Kehidupan sosial merupakan arena konflik atau konflik dalam kelompok-kelompok yang berseberangan.
  • Berbagai sumber daya ekonomi dan kekuatan politik itu penting, sehingga berbagai kelompok berusaha merebutnya.
  • Konsekuensi khas dari konflik ini adalah pembagian masyarakat menjadi determinan ekonomi dan kelompok subordinasi.
  • Pola sosial dasar suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial kelompok tersebut yang secara ekonomi merupakan kelompok penentu.
  • Konflik dan konflik sosial yang ada di berbagai masyarakat melahirkan kekuatan-kekuatan yang mampu mendorong perubahan sosial.
  • Karena konflik dan konflik merupakan kriya dasar kehidupan sosial, maka perubahan sosial juga menjadi hal yang lumrah yang sering terjadi.

2 #2 Teori Konflik menurut Max Weber

Disampaikan oleh R. Collins, Weber percaya bahwa konflik terjadi dengan cara yang jauh lebih dari sekedar kondisi material. Ciri dasar kehidupan sosial berupa konflik perebutan sumber daya ekonomi.

Namun, ada juga jenis konflik lain yang juga bisa terjadi. Weber menekankan adanya beberapa konflik terpenting yang mempengaruhi perusa sosial.

Pertama, konflik di arena politik. Konflik politik ini merupakan sesuatu yang sangat mendasar, karena kehidupan sosial dalam kadar tertentu merupakan bentuk konflik untuk memperoleh kekuasaan dan dominasi dari individu atau kelompok tertentu. Weber juga melihat sampai batas tertentu, bahwa kontradiksi ini dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan ekonomi.

Kedua, ada jenis konflik yang berkaitan dengan ide dan cita-cita. Weber mengungkapkan bahwa orang sering ditantang untuk mendominasi pandangan dunia mereka, baik dalam bentuk doktrin agama, filsafat sosial atau konsepsi gaya hidup budaya terbaik.

Gagasan tentang cita-cita ini tidak hanya diperdebatkan, tetapi juga digunakan sebagai senjata atau alat untuk konflik lain, seperti konflik politik. Dari sini terlihat bahwa Weber bukanlah seorang materialis atau idealis.

Weber cenderung dianggap sebagai pemikir yang memadukan pola penjelasan materialis dan idealis dalam mengungkapkan pendekatan sosiologis holistik.

2 #3 Teori Konflik Menurut Dahrendorf

Tokoh teori konflik lain yang cukup populer adalah Dahrendorf. Dahrendorf adalah seorang intelektual Jerman yang populer melalui karyanya “ Konflik Kelas dan Kelas dalam Masyarakat Industri ” tahun 1959.

Bagi Dahrendorf, penjelasan fungsionalis mengenai integrasi, nilai dan konsensus, serta stabilitas dianggap tidak seimbang. Dia menolak asumsi fungsionalis ini dan mencoba mendasarkan teorinya pada perspektif Marxis cararn. Baginya, konflik sosial yang dilandasi pertentangan kepentingan dan akibat konflik dapat meluas dan sekaligus dapat melahirkan perubahan sosial. (Johnson: 1986:183).

Meskipun Dahrendorf memiliki pemikiran yang sama dalam melihat konflik kelas, Dahrendorf tidak setuju dengan proposisi yang ditawarkan oleh Marx. Dahrendorf menganggap pandangan Marx tidak relevan dengan situasi masyarakat pasca-industri (industri cararn).

Oleh karena itu, teori dan konsep Marx disarankan untuk dimodifikasi agar dapat disesuaikan dalam menganalisis masyarakat industri cararn. Dahrendorf memandang Marx hanya mengacu pada masyarakat kapitalis. Bahkan, sejak Marx menulis pemikirannya, telah terjadi perubahan signifikan dalam struktur sosial. (Dahrendorf 1988).

Itulah sebabnya, Dahrendorf menawarkan konsep dan teori yang lebih memperhatikan penjelasan masyarakat kapitalis dan pasca-kapitalis. Dahrendorf kemudian membangun teori barunya melalui kerangka ini.

Dahrendorf memang mengalami cukup banyak konflik dengan Marx. Ia bahkan menolak konsep masyarakat tanpa kelas yang dikemukakan oleh Marx. Dahrendorf menilai bahwa analisis masyarakat tanpa kelas sangat spekulatif dan tidak ada bukti empiris yang dapat direalisasikan.

Lebih lanjut, Dahrendorf menilai sejumlah tesis Marx tidak didukung oleh realitas empiris. Pada kenyataannya, pembagian kelas tidak bisa hanya didasarkan pada kepemilikan alat-alat produksi.

Dalam teori konflik, Ralf Dahrendolf berasumsi bahwa masyarakat setia ketika tunduk pada proses perubahan dan pertikaian. Konflik dan berbagai unsur masyarakat dalam sistem sosial dianggap berkontribusi terhadap disintegrasi dan perubahan.

Baginya, ketertiban yang dapat tercipta dalam masyarakat tidak lain adalah karena paksaan dari para anggotanya, yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan. Artinya kekuasaan dalam sistem sosial ini berperan dalam upaya menjaga ketertiban dalam masyarakat.

Dahrendorf juga mengajukan gagasan teori konflik dialektis. Dalam teori ini dinyatakan bahwa masyarakat adalah subjek dengan dua wajah, yaitu konflik dan konsensus. Dari sini, Dahrendorf mengusulkan pembagian teori sosiologi menjadi dua bagian, yaitu teori konflik dan teori konsensus.

Dalam teori konflik, kita dapat mengkaji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan dalam masyarakat. Sedangkan dalam teori konsensus, kita dapat menguji nilai integrasi yang terjadi dalam masyarakat.

Dahrendorf beranggapan bahwa masyarakat tidak akan ada tanpa konsensus dan konflik karena penyatuan masyarakat terjadi karena kebebasan yang dipaksakan. Hal ini juga mencerminkan bahwa dalam posisi tertentu dalam masyarakat, terdapat otoritas atas posisi lain yang mendelegasikan kekuasaan.

2 # 4 Kritik teori konflik

Serupa dengan teori fungsional struktural, teori konflik juga tidak luput dari kelemahan. Beberapa kritik yang ditujukan pada teori konflik antara lain:

  • Teori konflik dianggap mengabaikan ketertiban dan stabilitas dalam masyarakat. Walaupun konflik dan perubahan merupakan bagian dari masyarakat, bukan berarti masyarakat tidak pernah mengalami kondisi yang tertib dan stabil.
  • Teori konflik memiliki dasar ideologi radikal. Seperti halnya fungsionalisme yang dikritik karena ideologinya yang konservatif, kedua teori tersebut dianggap tidak memadai dalam menganalisis kehidupan sosial masyarakat karena masing-masing hanya dapat menjelaskan sebagian dari kehidupan sosial. Padahal, diperlukan perspektif teoretis yang mampu menjelaskan konflik dan ketertiban sekaligus.

3 # Teori Interaksi Simbolik

Teori interaksi simbolik perlu dipahami untuk mencapai pemahaman interpretatif terhadap fenomena sosial yang ada. Ide pokok dari perspektif ini mengacu pada realitas sosial yang muncul melalui proses interaksi, dan berkaitan erat dengan kemampuan manusia untuk menciptakan dan memanipulasi simbol.

Pendekatan yang digunakan dalam interaksi simbolik cenderung berfokus pada diskusi terbuka tentang definisi situasi tentang makna bersama.

Ada beberapa tokoh sosiologi cararn yang turut memunculkan dan mendukung teori interaksionisme simbolik, seperti James Mark Baldwin, William James, Charles H. Cooley, John Dewey, William I. Thomas, dan George Herbert Mead. Di antara tokoh-tokoh tersebut, Mead merupakan tokoh yang paling populer sebagai pelopor dasar teori tersebut.

Teori interaksionisme simbolik mulai dikembangkan oleh Mead pada tahun 1920-an dan 1930-an. Saat itu, Mead adalah seorang profesor filsafat di Universitas Chicago. Sebagai seorang profesor, ia banyak mengungkapkan ide-idenya tentang interaksionisme simbolik kepada mahasiswanya.

Dari mahasiswa yang banyak menerbitkan catatan dan kuliah inilah teori interaksionisme simbolik Mead mulai mengembangkan peseta. Apalagi ketika buku tersebut menjadi acuan utama teori interaksi simbolik, yaitu: Mind, Self, and Society (1934) yang diterbitkan tak lama setelah kematian Mead.

Mahasiswa Mead-lah yang kemudian banyak berkreasi dan mengembangkan teori ini. Herbert Blumer, sebagai salah satu muridnya, adalah orang yang mencetuskan istilah “interaksi simbolik” pada tahun 1937. Ia juga kemudian mempopulerkannya di kalangan civitas akademika (Mulyana, 2001: 68).

Dalam teori ini, Mead memandang tindakan sebagai “unit paling inti” dalam teori tersebut (1982: 27). Mead melakukan analisis tindakan dengan berfokus pada stimulus dan respon.

Interaksi simbolik itu sendiri merupakan kegiatan yang menjadi ciri khas manusia, yaitu berupa komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Gagasan tentang interaksi simbolik ini ditulis ulang oleh Blummer dalam tulisannya, yang kemudian diperkaya dengan gagasan dari John Dewey, William I. Thomas, dan Charles H. Cooley (Mulyana, 2001: 68).

Jika dirujuk lebih luas, maka perspektif interaksi simbolik berada di bawah perspektif yang lebih luas, yaitu perspektif fenomenologis atau perspektif interpretatif. Istilah fenomenologi digunakan oleh Maurice Natanson sebagai istilah yang mengacu pada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap bahwa untuk memahami tindakan sosial, kita harus memusatkan perhatian pada kesadaran manusia dan makna subjektifnya.

Pada tahap awal perkembangannya, teori interaksi simbolik tampak tersembunyi di balik dominasi teori fenomenologis Talcott Parsons. Namun, fungsionalisme yang terus menurun pada 1950-an dan 1960-an, kemudian memunculkan kembali teori interaksionisme simbolik.

Teori interaksi simbolik ini berkembang pesat hingga sekarang. Tokoh-tokoh interaksionisme simbolik tahun 1960-an, seperti Howard S. Becker dan Erving Goffman, telah menghasilkan studi-studi interpretatif yang menawarkan pandangan alternatif tentang sosialisasi dan hubungan antara individu dan masyarakat (Mulyana, 2001: 59).

Esensi utama dari interaksionisme simbolik itu sendiri adalah fokus mempelajari hakikat interaksi yang merupakan aktivitas sosial manusia yang dinamis. Perspektif ini menganggap bahwa individu pada dasarnya aktif, reflektif, dan kreatif, menafsirkan, dan menampilkan perilaku yang kompleks dan juga sulit diprediksi.

Jadi, secara sederhana, perspektif interaksi simbolik menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif, dengan perilaku yang ditentukan oleh kekuatan atau struktur yang ada di luar dirinya.

Individu adalah makhluk yang dinamis dan selalu berubah. Karena individu ini merupakan unsur utama pembentuk masyarakat, artinya masyarakat juga berubah melalui interaksi yang terjadi antar individu tersebut.

Kesimpulannya, interaksi ini dianggap sebagai variabel penting dalam menentukan perilaku manusia, dan bukan pada struktur masyarakat. Struktur masyarakat itu sendiri dapat diciptakan dan diubah dipengaruhi oleh interaksi manusia.

Fenomenologi Schutz juga sependapat dengan pemahaman ini, yang menyatakan bahwa tindakan, ucapan, dan interaksi individu merupakan prasyarat bagi eksistensi sosial siapa pun. Schutz menganggap bahwa pengetahuan kategori pertama ini pada dasarnya bersifat pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka dengan orang lain (Mulyana, 2001: 61-62).

3 #1 Kritik Teori Interaksi Simbolik

Teori Interaksi Simbolik juga tidak lepas dari kelemahan dan kritiknya. Kelemahan teori interaksi simbolik yang dapat diringkas adalah sebagai berikut:

  • Interaksionis terlalu memperhatikan kehidupan sehari-hari individu dan formasi sosial dirinya. Namun, mereka cenderung mengabaikan struktur sosial. Padahal, struktur sosial bagi individu itu penting.
  • interaksi simbolik mengabaikan faktor psikologis seperti kebutuhan, motif, dan niat, dan sebaliknya lebih berfokus pada studi tentang tindakan, simbol, dan interaksi. Oleh karena itu, perhatian para penganut teori ini tidak boleh terlalu dalam.
  • Teori ini hanya berfokus pada kehidupan manusia sehari-hari, dan tidak melihat hal-hal yang membuat atau melatarbelakangi tindakan itu terjadi, hingga akhirnya dilakukan.