Apa Itu Psikologi Islam Dalam Perspektif Islam Dan Sains?

Psikologi Islam sebagai landasan dan konsep dasar yang menjadi landasan awal psikoterapi berwawasan Islam. merupakan agama yang sangat agung, yang memberikan pencerahan kepada manusia dalam berbagai aspek yang berkaitan dengan alam semesta, manusia dan kehidupan. Dengan kata lain Islam adalah sebuah ideologi (bukan sekedar agama) yang mampu menjawab setiap pertanyaan problematik umat manusia.

Sejak ribuan tahun yang lalu konsep tentang manusia telah dirumuskan oleh para sarjana dari para filosof, ilmuwan dan ulama. Seiring berjalannya waktu sejarah telah mencatat banyak teori tentang hakikat manusia dan hakikat kehidupan, sehingga dapat dikatakan psikologi merupakan salah satu disiplin ilmu yang termasuk di dalamnya.

Secara umum, yang telah berkembang memiliki tiga fungsi utama, yaitu; menjelaskan (explanation) , memprediksi (prediction) dan mengontrol (controlling) perilaku manusia. Menurut definisi ini kita tahu bahwa, apa yang disebut psikoterapi. Istilah psikoterapi (dan konseling) sendiri memiliki pengertian sebagai cara profesional (psikolog, psikiater, konselor, dokter, guru, dll) dengan maksud untuk membantu klien dengan masalah psikologis.

Definisi dari ISLAM PSIKOLOGI

Sains dan agama secara klasik sering diamati sebagai dua pandangan yang terpisah secara eksklusif. Tidak ada bagian dari sains yang dapat dijelaskan oleh agama dan sebaliknya. Pertemuan antara sains dan agama merupakan fantasi yang tidak mungkin dihadirkan secara nyata. Jika dua hal eksklusif ini dipaksakan untuk bertemu, maka dipastikan akan terjadi bencana baik dari segi konsep ilmu maupun dari sisi keyakinan agama. Sains didasarkan pada pandangan positivisme, sains didasarkan pada fakta-fakta indrawi, materialistis dan fisik yang sudah memiliki kepastian makna. Teori sains diturunkan dari fakta dan data melalui metode induktif, deduktif, atau hipotetis-deduktif. Di sisi lain, agama sensitif terhadap pengalaman manusia karena pemisahan antara “sistem sains cararn sekuler” dan “sistem Islam” dapat dihubungkan dengan memulai dari landasan iman seseorang.

Konsep psikologi Islam sendiri lahir dari dua pendekatan yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan untuk sesaat:

  1. Psikologi Islam adalah konsep psikologi cararn yang telah mengalami penyaringan dan di dalamnya terdapat wawasan keislaman. Jadi Psikologi Islam diartikan sebagai suatu perspektif Islam terhadap psikologi cararn dengan menghilangkan konsep-konsep yang tidak sesuai dan bertentangan dengan konsep Islam.
  2. Ilmu tentang manusia yang kerangka konseptualnya dibangun atas dasar sumber-sumber formal Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi (Hadis), dengan memperhatikan pula syarat-syarat ilmiah sebagaimana lazimnya dalam pembahasan metodologis. dari sebuah konsep teoritis.

Kajian psikologi Islam meliputi jiwa (nafs) dengan memperhatikan jasad atau jasad, dengan kata lain antara jiwa dan jasad muncul suatu kesinambungan yang mencerminkan totalitas dan kesatuan. Keadaan tubuh manusia mungkin merupakan cerminan dari jiwanya. Ekspresi tubuh hanyalah salah satu fenomena psikologis. Dalam merumuskan siapa manusia itu, psikologi Islam melihat manusia bukan hanya dari perilaku yang ditunjukkan tubuhnya. Juga tidak didasarkan pada spekulasi tentang apa dan siapa manusia itu. Psikologi Islam bermaksud menjelaskan manusia dengan merumuskan apa yang dikatakan Tuhan tentang manusia. Psikologi Islam mengakui kompleksitas manusia di mana hanya pencipta yang mampu memahami dan mengungkap kompleksitas itu.

Oleh karena itu, psikologi Islam sangat memperhatikan apa yang Tuhan katakan tentang manusia. Artinya, dalam menjelaskan siapa manusia, kita tidak hanya mendasarkan diri pada perilaku manusia yang sebenarnya, tetapi kita dapat memahami dari dalil-dalil tentang perilaku manusia yang diambil dari ekspresi tuhan. Studi tentang banyak manusia yang disebutkan dalam Allah dalam Al-Qur’an:

“Kita akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda ( kekuasaan ) Kita di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri mereka sendiri , sampai jelas untuk mereka yang Quran itu adalah benar . Tidakkah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu ? ( Qs . Fushshilat , 41:53).

Ayat ini hendak mengungkapkan bahwa di alam semesta dan di dalam diri manusia ada sesuatu yang menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah. Yang dimaksud dengan sesuatu adalah rahasia keadaan alam dan keadaan manusia. Jika rahasia diungkap oleh manusia, maka jadilah manusia sebagai makhluk yang berilmu, makhluk yang berilmu.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam diri manusia terdapat kompleksitas yang dapat dijadikan sebagai bidang studi. Dalam berbagai ayat banyak disebutkan istilah-istilah yang berbicara tentang keadaan diri manusia, seperti nafs, ruh, aql, qalb, fitrah, fujura, taqwa, fuad dan sebagainya. Istilah nafs, termasuk kata yang paling sering disebutkan dalam Al-Qur’an, lebih dari 300 kali.

Konsep Psikologi Islam Tentang Manusia

Penjelasan tentang konsep manusia menurut psikologi Islam dipengaruhi oleh konsep manusia dalam pandangan Tasawuf, yang secara umum dapat kita temukan dengan melihat beberapa aspek:

  1. Aspek Jismiyah (Dimensi tubuh):

Tubuh merupakan salah satu aspek dalam diri manusia yang bersifat material. Bentuk dan keberadaannya dapat dirasakan oleh manusia, seperti tubuh dan anggotanya seperti tangan, kaki, mata, telinga dan lain-lain. Dalam Al-Qur’an banyak disebutkan bahwa manusia telah menganugerahi tubuh dengan bentuk yang paling baik.

“Aku telah menciptakan langit dan bumi dengan haq. Dia membentuk bentuk-bentukmu dan membersihkannya dari milikmu dan hanya kepada Allah-lah kamu kembali” (QS At-Taghaabun, 64:3)

“Sesungguhnya Kita telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS At-Tiin, 95:4)

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.” (Surat an-Nahl, 16:78).

Dengan tubuh atau fisik yang baik diharapkan manusia dapat bersyukur kepada Tuhan. Namun begitu banyak manusia kemudian menjadi kafir, kafir dan tidak bersyukur kepada Tuhan.

“Kita telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur [1535] yang Kita coba uji (dengan perintah dan larangan), oleh karena itu Kita jadikan Dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kita telah menjadikannya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada yang kafir”. (Surat Al-Insaan, 76: 2-3). [1535] Itu berarti mencampurkan benih laki-laki dengan perempuan.

Dari aspek jasmani inilah kemudian muncul kecenderungan dan keinginan yang disebut nafsu, yaitu minat terhadap hal-hal duniawi, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

“Menjadi cantik di mata pria mencintai apa saja yang diinginkan, Yaitu: wanita, anak-anak, harta yang kaya emas, perak, kuda pilihan, ternak dan ladang. Itulah kebahagiaan hidup di t

Aspek Nafs Dalam Psikologi Islam

Nafs didefinisikan dengan jiwa atau diri. Namun dalam konteks ini nafs yang dimaksud adalah substansi manusia, dimana komponen jasadi jismiyah bergabung dengan komponen spiritual sehingga menciptakan potensi-potensi potensial, namun dapat menjadi aktual jika manusia mengusahakannya. Masing-masing komponen yang ada memiliki kekuatan laten yang dapat mendorong perilaku manusia. Aktualisasi nafs membentuk kepribadian, yang perkembangannya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.

Aspek nafsiyah memiliki potensi bawaan yang ada dalam diri psikofisik manusia yang dibawa sejak lahir dan yang akan menjadi motor penggerak dan penentu perilaku manusia, baik berupa perbuatan, sikap, ucapan dan sebagainya.

Dalam aspek nafsiyah ini terdapat tiga dimensi yang memiliki peran yang berbeda satu sama lain, yaitu:

  1. Dimensi Hati (Al-Qolb)

Al-Ghazali secara eksplisit melihat hati dari dua aspek, yaitu pikiran fisik dan hati spiritual. Batin jasmani adalah salah satu organ yang terdapat dalam tubuh manusia berupa segumpal daging yang berbentuk seperti buah sanubar (sanubari) atau seperti jantung pisang yang terletak di dada sebelah kiri. Hati ini biasa disebut hati. Sedangkan ruh ruhani adalah sesuatu yang bersifat halus ( lathif ), rabbani dan ruhani yang berhubungan dengan kalbu tubuh. Bagian ini adalah esensi manusia.

Al-Ghazali berpendapat bahwa hati memiliki naluri yang disebut al-nur al-ilahy (cahaya ilahi) dan al-bashirah al-batinah (mata batin) yang memancarkan iman dan keyakinan. Al-Zamakhsyariy (dalam Abul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001) menegaskan bahwa hati diciptakan oleh Allah SWT, sesuai dengan fitrah aslinya dan cenderung menerima kebenaran dari-Nya. Dari sisi ini, hati spiritual adalah bagian dari esensi nafs manusia. Hati ini berfungsi sebagai pemandu, pengontrol dan pengontrol struktur nafs lainnya. Jika jantung berfungsi normal maka kehidupan manusia menjadi baik dan sesuai dengan fitrah aslinya. Manusia tidak hanya mengenal lingkungan fisik dan soialnya, tetapi juga mampu mengenal lingkungan spiritual, ketuhanan dan keagamaan. Oleh karena itu, hati disebut juga dengan fithrah ilahiyah atau fithrah rabbaniyah-nuraniyah.

Anda bisa menimba ilmu (al-ma’rifah) melalui kekuatan rasa (al-zawqiyah) . Anda akan mendapatkan puncak ilmu ketika manusia telah mensucikan dirinya dan menghasilkan ilham (bisikan suci Allah SWT) dan kasyf (pembukaan dinding yang menghalangi hati).

Padahal sebenarnya potensi hati tidak selalu merupakan perilaku yang baik. Baik buruk tergantung pada pilihan manusia itu sendiri. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits:

“Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Ketika dia baik maka semua tubuh menjadi baik, tetapi jika dia rusak maka semua tubuh menjadi rusak pula. Ingatlah bahwa dia adalah hati (hati)” (HR. Al-Bukhari dari Nu’man bin Bashir)

dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (Surat Ali-Imran, 3:14).

Nafsu dalam terminologi psikologi dekat dengan istilah konasi (kekuatan karsa). Conation (kemauan) adalah untuk bereaksi, melakukan, mencoba, berkehendak, berkehendak. Aspek konjungsi kepribadian ditandai dengan perilaku yang bertujuan dan dorongan untuk berbuat. Nafsu menunjukkan struktur bawah sadar dari kepribadian manusia. Jika manusia mengumbar dominasi hawa nafsunya maka kepribadiannya tidak akan mampu eksis, baik di dunia apalagi di akhirat. Manusia yang memiliki sifat ini pada dasarnya memiliki kedudukan yang setara dengan hewan yang lebih terhina lagi:

Kita telah menjadikan hati, tetapi mereka tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) mereka tidak digunakan untuk melihat (tanda-tanda Allah) dan mereka memiliki telinga (tetapi) mereka tidak digunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka seperti ternak, mereka bahkan lebih sesat. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Surat Al-A’raf: 179)

Nafsu memiliki dua kekuatan: al-ghadhabiyah dan al-syahwaniyah . Al-Ghadhabiyah merupakan kekuatan potensial untuk menghindarkan diri dari segala hal yang merugikan. Al-ghadhabiyah dalam terminologi psikoanalisis disebut mekanisme perbedaan, suatu perilaku yang berusaha mempertahankan atau melindungi ego terhadap kesalahan, kecemasan dan rasa malu, tindakan melindungi diri sendiri dan memanfaatkan dan merasionalisasi tindakan sendiri. Sedangkan al-syahwaniyah atau nafsu adalah kekuatan yang berpotensi untuk memancing diri dari segala hal yang menyenangkan. Syahwat dalam terminologi psikologi disebut nafsu, yaitu keinginan (hasrat, nafsu, nafsu), motif atau dorongan yang didasarkan pada perubahan keadaan fisiologi.

Prinsip nafsu nafsu mengikuti prinsip kesenangan dan mencoba untuk memuntahkan impuls-impuls primitifnya. Jika impuls ini tidak terpenuhi maka terjadi ketegangan. Prinsip kerja nafsu ini memiliki kesamaan dengan prinsip kerja jiwa binatang, binatang buas atau binatang jinak. Binatang buas memiliki dorongan agresif (menyerang), sedangkan binatang jinak memiliki dorongan seksual. Karena prinsip inilah maka nafsu disebut juga dengan fithrah hayawaniyah.

Aspek Ruhiyah (Roh)

Ruh merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi kehidupannya. Ruh adalah pembeda antara esensi manusia dan esensi makhluk lain. Ruh berbeda dengan ruh dalam terminologi psikologi, karena istilah ruh lebih kepada substansi, berbeda dengan ruh yang lebih kepada efek atau pengaruh dari ruh.

Menurut Al-Ghazali (dalam Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001) ruh adalah makhluk halus ( lathifah ) yang bersifat spiritual. Dia bisa berpikir, mengingat, tahu dan sebagainya. Ruh juga merupakan pendorong keberadaan tubuh (jiwa) manusia yang bersifat supranatural.

Pembahasan jiwa terbagi menjadi dua, pertama, ruh yang berhubungan dengan zat itu sendiri, dan dua yang berhubungan dengan tubuh fisik. Ruh yang pertama disebut al-munvenalah , sedangkan yang kedua disebut al-gharizah , atau disebut nafsaniah . Ruh al-munazalah berkaitan dengan esensi asli ruh yang diturunkan atau diberikan langsung dari Allah SWT. mereka ambil. Ruh dari esensi ini tidak berubah, karena jika berubah, ia juga mengubah keberadaan manusia.

Roh ini diciptakan di alam roh (‘ alam roh ) atau di alam perjanjian. Oleh karena itu ruh al-munazzalah sudah ada sebelum tubuh manusia ada, sehingga sifatnya yang sangat gaib hanya diketahui melalui keterangan wahyu. Ruh al-munazzalah melekat pada diri manusia. Ruh ini dapat dikatakan sebagai fitrah asal yang menjadi hakekat (esensi) struktur manusia. Fungsinya berguna untuk memberikan motivasi dan membuat dinamika perilaku. Ruh ini membimbing kehidupan spiritual manusia menuju jur cahaya ilusi ilahi yang menerangi kesadaran manusia, meluruskan pikiran dan mengendalikan impuls-impuls rendah.

Kepribadian menurut Psikologi Islam

menurut Psikologi Islam adalah keterpaduan sistem hati, pikiran dan nafsu manusia yang menimbulkan perilaku (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001). Aspek nafsiyah manusia memiliki tiga kekuatan: (1) hati ( fithrah ilahi ) sebagai aspek supra-sadar manusia dengan kekuatan kasih sayang (emosi-perasaan); (2) akal ( fithrah insaniyah ) sebagai aspek kesadaran manusia yang memiliki daya kognisi (cipta); dan (3) nafsu ( fithrah hayawaniyah ) sebagai aspek pra atau bawah sadar dari kesadaran manusia (karsa). Ketiga komponen tersebut berintegrasi untuk mewujudkan suatu perilaku. Hati memiliki kecenderungan terhadap sifat ruh, nafs terhadap jasad, dan akal antara ruh dan jasad. Dari sudut pandang, kepribadian itu merupakan bagian integral dari aspek supra-kesadaran, kesadaran (sifat manusia) dan pra atau bawah sadar (sifat binatang). Sedangkan dari segi fungsi, kepribadian adalah integrasi kekuatan afeksi (emosi), kognisi dan konformasi yang diwujudkan dalam perilaku eksternal (berjalan, berbicara, dll) dan perilaku batin (pikiran, perasaan, dll.)

Kepribadian sebenarnya merupakan produk interaksi antara ketiga komponen tersebut, hanya saja salah satunya lebih dominan dari pada komponen lainnya. Dalam interaksi tersebut, hati memiliki posisi dominan dalam mengendalikan suatu kepribadian. Prinsip kerjanya cenderung pada fitrah asal manusia, yaitu kerinduan akan hadirat Tuhan dan kesucian jiwa. Aktualitas hati ditentukan oleh sistem kendali. Sistem kendali yang dimaksud adalah pangeran yang berpedoman pada fithrah al-munvenalah (Al-Quran dan Sunnah). Jika sistem kendali ini berfungsi dengan baik, maka kepribadian manusia sesuai dengan amanah yang diberikan Allah dalam kodrat perjanjian. Namun jika ia tidak bekerja maka kepribadian manusia akan dikuasai oleh komponen lain yang lebih rendah derajatnya.

Sedangkan prinsip dasar bekerja adalah mengejar hal-hal yang realistis dan rasionalistik. Oleh karena itu, tugas utama akal adalah mengikat dan menahan hawa nafsu. Jika tugas utama ini tercapai maka pikiran mampu mengaktualisasikan sifat bawaannya yang tertinggi, tetapi jika tidak maka pikiran dieksploitasi oleh nafsu.

Sedangkan nafsu prinsip bekerja hanya mengejar kesenangan duniawi dan ingin menuruti nafsu impulsifnya. Jika sistem pengendalian hati dan pikiran melemah maka nafsu mampu mengaktualkan sifat bawaan, tetapi jika sistem pengendalian hati dan pikiran tetap berfungsi maka nafsu melemah. Nafsu sendiri memiliki daya tarik yang sangat kuat dibandingkan dengan dua sistem fitrah nafsani lainnya. Kekuatan tersebut disebabkan oleh bantuan dan bisikan setan dan trik impulsif lainnya. Sifat nafsu itu mengarah pada kemarahan yang buruk . Namun ketika dia diberi karunia Allah dia menjadi kekuatan positif, yaitu kemauan ( iradah ) dan kemampuan ( qudrah ) derajat tinggi.

Interaksi ketiga dimensi dalam aspek nafsiyah tersebut diaktualisasikan dalam tiga macam kepribadian, yaitu:

Kepribadian Ammarah ( nafs al-ammarah )

Ammarah adalah kepribadian yang cenderung pada sifat jasmani dan mengejar prinsip kesenangan . Ia mendominasi peran hati untuk melakukan perbuatan-perbuatan rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga ia menjadi tempat dan sumber keburukan dan perilaku tercela. Firman Allah SWT.:

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesesatan), karena Sesungguhnya syahwat selalu menyuruh kemunkaran, kecuali syahwat yang dikabulkan oleh Tuhanku. Dia! Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Ratapan. (Surat Yusuf, 12:53).

Kepribadian ammara adalah kepribadian yang dipengaruhi oleh impuls bawah sadar manusia. Siapa pun kepribadian ini maka sebenarnya dia tidak lagi memiliki identitas manusia, karena sifat kemanusiaannya telah hilang. Manusia yang memiliki kepribadian ammara tidak hanya dapat merusak diri sendiri, tetapi juga merusak orang lain. Keberadaannya ditentukan oleh dua kekuatan, yaitu (1) nafsu yang selalu menginginkan nafsu, keserupaan, rasa ingin tahu dan campur tangan, urusan orang lain, dan lain sebagainya; (2) kekuatan ghadah yang selalu ingin serakah, serakah, merampas, berkelahi, ingin menguasai orang lain, keras kepala, sombong, sombong dan sebagainya. Jadi orientasi kepribadian ammara adalah mengikuti sifat binatang.

Kepribadian ammarah dapat berubah menjadi pribadi yang baik jika telah diberi rahmat oleh Allah SWT. Hal ini membutuhkan latihan atau riyadhah khusus untuk menekan nafsu dari udara , seperti dengan berpuasa, berdoa, berdoa dan sebagainya.

Kepribadian Lawwamah ( nafs al-lawwamah )

Kepribadian lawwamah adalah kepribadian yang telah memperoleh cahaya hati, kemudian ia bangkit untuk memperbaiki keseimbangan antara dua hal. Dalam usahanya terkadang tumbuh perbuatan-perbuatan buruk yang disebutkan oleh akhlaknya yang gelap, tetapi kemudian dia diingatkan oleh nur ilahi , maka dia mencela perbuatannya dan kemudian dia bertaubat. Dapat dipahami bahwa kepribadian lawwamah berada di tengah keragu-raguan antara kepribadian ammarah dan kepribadian muthmainnah. Firman Allah SWT.:

Dan aku bersumpah demi jiwa yang sangat menyesal (sendiri). (Surat Al-Qiyamah, 75:2)

Kepribadian lawwamah adalah kepribadian yang didominasi oleh akal. Sebagai komponen sifat manusia , akal mengikuti prinsip kerja rasionalistik dan realistis yang membawa manusia ke tingkat kesadaran. Jika sistem kontrol bekerja maka ia mampu mencapai puncaknya sebagai rasionalisme. Rasionalisme banyak dikembangkan oleh kaum humanis yang mengorientasikan pola pikirnya pada kekuatan “segalanya” manusia, sehingga bersifat antroposentris.

Akal jika sudah diberi percikan nur kalbu maka fungsinya menjadi baik. Ia bisa dijadikan salah satu media untuk menghadap Tuhan. Al-Ghazali sendiri meskipun sangat mengutamakan pendekatan yang berorientasi pada rasa ( zawq ), namun ia tetap menggunakan kemampuan akal. Sedangkan menurut Ibnu Sina, akal dapat mencapai pemahaman abstrak dan akal juga mampu menerima limpahan ilmu dari Tuhan.

Karena kedudukan yang labil ini maka Ibnu Qayyim Al-Jawziyah membagi kepribadian lawwamah manjadi dua bagian, yaitu: (1) kepribadian lawwamah malumah , kepribadian lawwamah jahil dan jahil; (2) Kepribadian lawwamah ghayr malumah , yaitu kepribadian yang mencela perbuatan buruknya dan berusaha memperbaikinya.

Kesimpulan Tentang Psikologi Islam

Psikologi Islam dan psikoterapi berbasis Islam lebih dari sekedar memprediksi, menjelaskan dan mengendalikan perilaku manusia, tetapi juga mengarahkan perilaku tersebut untuk mencapai ridha-Nya. Dengan demikian, kehadiran psikologi Islam diisi dengan misi besar untuk menyelamatkan manusia dan mengarahkan manusia untuk memenuhi kecenderungan alami mereka untuk kembali kepada-Nya dan mendapatkan persetujuan-Nya. Karena tugas akhir psikologi Islam dan psikoterapi berwawasan Islam adalah menyelamatkan manusia, maka psikologi harus memanfaatkan ajaran agama.

Psikologi Islam dan psikoterapi berwawasan disusun dengan menggunakan Al-Qur’an dan sunnah sebagai referensi utama. Sedangkan Al-Qur’an sendiri diturunkan bukan semata-mata untuk kemaslahatan umat Islam, tetapi untuk kemaslahatan seluruh umat manusia:

Alif, lam raa. (Inilah) Kitab yang Kita kirimkan kepadamu, agar kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan ke cahaya yang terang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) ke jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (Surat Ibrahim, 14: 1)